Bicara soal seni adalah hal yang tidak mudah. Selalu saja orang akan memberikan argumen yang mengatasnamakan kerelatifan, dan mereka ada benarnya. Ada orang yang mengatakan lukisan kubisme-nya Pablo Picasso sebagai bagus dan indah, tapi bisa juga ada yang mengatakan itu hanya hasil kerjaan anak kecil yang diwarnai dengan disiplin. Seni adalah sesuatu yang berada di wilayah antara hitam dan putih itu. Ada sangat banyak warna, ada sangat banyak kemungkinan. Nah, musik adalah seni. Ketika musik diwujudkan menggunakan kata-kata, maka fokus apresiasi pertama adalah pada kata-kata itu. Dengan begitu maka musik yang berkata-kata atau yang berlirik, adalah sebuah komunikasi. Ada yang mau disampaikan oleh si pembawanya, dan yang disampaikan itu adalah kata-kata pada liriknya.
lyrics Buat saya, lirik musik Indonesia bisa langsung menunjukkan siapa si penciptanya / pelantunnya / grup band-nya. Satu hal, 90% lebih lirik musik Indonesia adalah tentang cinta, dan plot pada liriknya sudah benar-benar membosankan. Mulai dari soal pdkt, penolakan, tidak bisa hidup tanpa dia, pengkhianatan, selingkuh, pemujaan perempuan, dan segalanya yang sudah bisa dibayangkan. Konon katanya para produser masih menganggap bahwa fokus pada soal cinta ini adalah yang akan membuat produknya gampang laku. Ini lah sulitnya. Ketika sesuatu sudah masuk industri, maka apa yang akan diproduksi harus melihat apa yang real dibutuhkan pasar. Sayangnya persepsi tentang apa yang real itu pasti subyektif sekali, oportunistik, dan selalu mencoba masuk ke dalam tren yang ada, bukan menciptakan tren karena itu terlalu berrisiko tidak akan ada yang membeli. Dari sudut pandang produser itu bisa dimengerti, tapi dari sudut pandang Seni secara umum, sudut pandang itu kalau tidak hanya memberikan kontribusi yang sedikit saja pada pemenuhan kaidah-kaidah seni, maka mungkin tidak ada sama sekali kontribusinya. Karena musik yang berlirik terlalu sering tidak menggugah apapun, tidak ada yang dibangkitkan pada kesadaran akan sesuatu yang baru. Sebuah lagu tidak jarang terdengar seperti hanya musik yang diberi kata-kata saja.
Apakah kita mesti menuding industri karena hal ini ? Tentu saja tidak. Mekanisme industri musik adalah sebuah kenyataan yang tidak bisa dibantah, dan mereka memiliki logikanya sendiri. Saya kira tantangannya lebih ada pada seniman musiknya sendiri. Persisnya, kualitas lirik itu ada pada intelektualitas si musisi / pencipta lagunya sendiri. Dalam hal ini saya ingin mengatakan bahwa para musisi itu sebenarnya bukannya tidak berkembang / mengembangkan diri. Mereka pasti berlatih dari hari ke hari, tapi yang mungkin tidak mereka waspadai adalah bahwa perkembangan keterampilan / skill bermusik ternyata tidak bisa paralel dengan perkembangan intelektualitas. Saya memang sengaja menggunakan kata ‘intelektualitas’, karena hanya inilah kemampuan manusia yang bisa membawa ke apresiasi dan penciptaan segala yang indah. Impuls musikal itu pasti akan ada pada seorang musisi, inspirasi itu juga pasti bisa datang karena musisi adalah seorang seniman; masalahnya adalah bagaimana merangkum keduanya dan meramunya ke dalam sebuah sajian kata-kata yang menggugah, yang tidak sekedar lewat telinga kiri dan keluar telinga kanan. Buat saya, untuk merangkum dan meramu itu dibutuhkan intelektualitas.
Sebuah band bisa saja berlatih tiap hari; sehingga kemampuan memainkan alat musiknya menjadi luar biasa bagus; sehingga ketika tampil bisa faultless. Tapi itu semua menyangkut fisik, menyangkut koordinasi otot, syaraf motorik, memori, perasaan, dan intuisi yang berasal dari kepekaan pada instrumen yang semakin dikenali setiap hari. Semua itu mungkin sudah ada campur tangan unsur otak, unsur intelektualitas, … tapi barangkali porsinya tidak terlalu besar. Kemampuan bermusik adalah satu hal, tapi kemampuan menciptakan lirik adalah hal lain. Lirik bermutu hanya bisa diciptakan dengan koordinasi otak, koordinasi intelektual. Tapi nampaknya terlalu banyak musisi menomorduakan ini. Mungkin mereka sudah tahu, tapi menganggap bahwa ini bukanlah hal yang terlalu harus dirisaukan, atau mungkin berpikir bahwa jalan keluarnya sungguh tidak praktis.
cobain_writing Dalam proses penciptaan lagu, kita bisa maklum bahwa ada banyak variasi yang bisa muncul; apakah musiknya dulu baru liriknya, atau liriknya dulu baru musiknya, atau bisa saja keduanya bersamaan. Saya kira, karena yang lebih berkembang pada kebanyakan musisi adalah skill bermusiknya, akan sangat masuk akal untuk memperkirakan bahwa sebagian besar dari mereka akan mulai dari musiknya. Maka musiknya harus jadi dulu, baru liriknya nanti ditambahkan. Musiknya barangkali akan berubah sedikit nanti, tapi yang jadi orientasi pertama adalah musiknya dulu itu, sebagai titik berangkat, sebagai konsep dari pengembangan sebuah lagu. Kalau liriknya yang didahulukan, maka akan ada kans besar liriknya itu bisa membawa aspirasi artistik si penciptanya pada liriknya itu, tapi kalau musiknya yang didahulukan, kita bisa membayangkan bahwa tentu liriknya itu akan dikorbankan demi musik yang sudah ada, demi melodi yang sudah tercipta, misalnya. Oke, barangkali ini hanya salah satu skenario kemungkinan. Tidak selalu begini jalan ceritanya, tapi tetap saja, ada kecenderungan besar lirik adalah properti nomer 2 setelah musiknya.
Apa yang terjadi kalau ada pemutlakan orientasi pada musiknya sebagai jalan bagi terciptanya lirik? Seorang musisi yang cerdas akan segera punya beberapa alternatif. Bila sampai pada suatu titik di mana kompromi pada lirik sulit, maka bisa jadi musik atau melodinya akan dirombak. Tapi barangkali ada yang berpikir bahwa lirik itu lebih fleksibel perubahannya, sedangkan kalau yang diubah musiknya maka bisa jadi akan mengubah total seluruh komposisi. Pada titik ini, seorang musisi yang oportunis akan dengan mudah melakukan kompromi. The end justifies the means. Apapun dilakukan, yang penting kata-kata itu bisa mengiringi musik yang sudah ada. Kalau sudah begini, maka tidak heran improvisasi penciptaan lirik menjadi sebuah potret intelektualitas penciptanya.
Salah satu contohnya adalah dari sebuah grup yang sekarang ini sedang naik daun. Mereka menulis, ‘I am sorry, ku tak akan love you lagi‘. Lihat, … cara apapun dilakukan. Saya tidak akan menerapkan kategori salah benar, jelek bagus, indah tidak-indah, tapi bagi saya itu sebuah pendekatan yang tidak terhormat, sekurangnya dari sudut bahasa Indonesia, dan benar-benar menunjukkan seberapa jauh tingkat intelektualitas si penciptanya.
music-song-lyrics-sheet Ok. Soal topik, bolehlah tentang cinta. Bolehlah sampai akhir jaman nanti para arkeolog akan menemukan bahwa sejarah lagu Indonesia populer ditandai oleh 99 persen lagu tentang cinta, tapi bukankah masih banyak variasi sudut pandang dan alternatif plot yang bisa diciptakan dari topik itu? Apakah stagnannya itu karena pengalaman pribadi si musisinya sebegitu sempit dan konvensional sehingga sulit sekali bisa muncul yang baru ? Kalau sudah begini apakah kita bisa langsung mengatakan seorang musisi / pencipta lagu itu adalah seorang seniman? Bagi saya, seorang seniman memiliki asumsi yang lebih dari sekedar kemampuan memproduksi sesuatu yang masuk dalam kancah seni. Kalau tekanannya pada kemampuan memproduksi (entah itu musik, lirik, atau apapun juga) maka itu adalah sekedar pengrajin, atau malah seorang tukang belaka.
Saya kira ada beberapa alternatif untuk jalan keluarnya. Pertama, seorang musisi harus banyak membaca dan berdiskusi. Tidak bisa dia hanya naif saja mengandalkan apa yang sudah ada di kepala. Kedua, perlu dipertimbangkan dengan serius bahwa ada seorang anggota band yang tidak perlu tampil di panggung, yaitu seseorang yang memang khusus menciptakan lirik. Ketiga, outsourcing. Saya kira sudah tiba saatnya ini dilakukan. Biarlah lirik dibuat orang lain, sedangkan musiknya dibuat sendiri. Atau dalam proses kreasinya ada proses kerja sama. Ini penting sekali karena hingga saat ini nampaknya dunia musik dan dunia kepenyairan belum terjembatani dengan baik. Masih sangat sedikit ada kerjasama antara seorang musisi atau grup band dengan seorang penyair.
Beberapa kesempatan terakhir saya mendengarkan band amatir yang tampil live, selalu saja musiknya hingar bingar dan si penyanyi membawakan lirik tidak jelas dengan teriakan ala Linkin Park itu. Saya kira sekarang ada sebuah peluang konseptual baru bagi sebuah band: musiknya minimalis saja, tapi yang dikedepankan adalah liriknya. Kalau perlu ada pembalikan konsep yang ekstrem: bukan musik yang diberi kata-kata, tapi kata-kata yang dimusiki; variasi dan improvisasi musik harus menyerah pada lirik. Terlalu banyak band yang tampil live, karena sound system-nya buruk, maka lirik menjadi tenggelam pada segala ke hingarbingaran yang ada. Ini sebuah tantangan yang bisa menjadi konsep pembentukan sebuah band. Tapi saya bahkan sangsi ada orang yang sekurangnya membayangkan itu sebagai sebuah kemungkinan.
Apa yang harus kita katakan pada sebuah band yang pada fotonya tampil gagah, garang, macho, … tapi lirik musiknya sekedar lagu cinta dengan sudut pandang yang itu-itu saja; yang sudah kita tahu tanpa harus mendengarkannya?
(ini adalah tulisan Saya yang dipindahkan ke sini dari tempat lain. Saya tulis ini pada 19 Oktober 2016)