Media Sosial dari Sudut Pandang Seorang Penguntit

Pernah saya mencoba seolah-olah menjadi stalker, alias penguntit seseorang. Tentu saja saya tidak benar-benar menguntitnya secara harfiah, dengan cara membuntutinya, atau mungkin mendengarkan percakapannya seperti dalam filem-filem detektif. Ini hanya percobaan saja untuk menjawab pertanyaan, “Dengan bantuan teknologi populer, seberapa jauh kita bisa mengetahui hidup seseorang ?”. Kalau kita balik pertanyaan itu, maka relevansinya bisa begitu penting bagi semua orang dewasa ini: “Semudah apa hidup kita bisa diketahui oleh orang lain dengan bantuan teknologi ?”

Yang saya lakukan adalah mengidentifikasi orang-orang yang tidak begitu saya kenal dalam lingkungan saya. Dengan cepat saya putuskan bahwa meskipun saya tidak kenal, tapi sekurangnya saya harus tahu namanya, dan dia adalah pengguna smartphone. Cukup nama dan smartphone. Saya temukan seseorang yang memang saya tidak kenal, tapi banyak orang yang cukup mudah memberitahu saya namanya, dan saya yakin betul dia adalah pengguna smartphone karena suatu hari saya pergoki dia duduk menghabiskan waktu mengutak-atik gadget dalam genggamannya. Berikutnya, hanya dengan berbekal itu saja, saya bisa tahu cukup banyak tentang dia: siapa suaminya, apa pekerjaannya, berapa anaknya, sekolah di mana saja, teman-temannya, teman-temannya yang sekaligus teman saya juga, dulu sekolah di mana, nama anjingnya, alamat emailnya, sering makan di restoran mana, hingga akhirnya petunjuk tentang di mana rumahnya.

Saya benar-benar melakukan itu, tapi untung saya bukan penjahat 🙂 Tidak sulit untuk melakukannya. Yang diperlukan adalah akses Internet, ketrampilan melakukan search, dan imajinasi. Apakah kita akan menganggap kenyataan bahwa data / informasi tentang kita bisa diungkap seperti itu sebagai hal yang biasa-biasa saja, atau sebuah potensi yang akan mengundang bahaya ? Barangkali saya sedang beruntung waktu itu, tapi saya punya keyakinan saya masih bisa melakukannya pada orang lain lagi. Meski tentu tidak pada semua orang juga.

Tentang ini semua, di satu sisi euforia media sosial telah menunjukkan pada kita semua betapa ada keuntungan-keuntungan kalau kita mengikuti dan aktif menggunakannya. Kesalingterhubungan kita mungkin akan membuat kita menemukan kembali teman-teman lama, dengan cepat mengetahui kabar seseorang, tahu apa yang sedang trendy, berbagi hal-hal remeh yang lucu, atau mungkin juga menemukan potensi bisnis. Akan tetapi bukankah menjadi naif kalau di balik itu semua asumsinya adalah bahwa kita hidup di dunia yang sempurna tanpa orang (yang mungkin akan berbuat) jahat ?

Ini bukan sebuah sikap yang paranoid, tapi coba lihat saja. Sejak populernya Facebook, seolah-olah jadi ada pembenaran untuk mempertontonkan hidup kita pada orang lain. Memang ada dasar yang kuat untuk itu karena betapapun hebat, mulia, berharga, atau terhormatnya kita mungkin akan kurang maknanya kalau semua hanya kita sendiri saja yang tahu. Ketika orang lain tahu tentang kita, apa yang kita lakukan, sedang di mana, bersama siapa, atau bahkan makan apa, seolah-olah eksistensi kita mendapat penegasan. Di satu sisi kita mendapat manfaat, tapi di sisi lain diri kita, hidup kita, terekspos pada orang lain dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya. Terkait ekspose itu, kalau terjadi hal yang merugikan, apakah kita nanti bisa memaafkan keteledoran kita atau kalau ada apa-apa kita anggap saja itu “harga” yang harus dibayar ?

Saya ingin bahas tiga aplikasi Internet di mana kita dibuat seolah-olah dengan suka rela ‘membocorkan’ informasi tentang diri kita, untuk alasan apapun itu. Facebook. Twitter, dan Foursquare. Dari ketiganya bisa ditarik prinsip yang hampir sama manakala kita hubungkan dengan media sosial yang lain. Saya akan tambahkan juga bagaimana sebaiknya kita mensikapi atau memperlakukannya.

Facebook

Hari gini siapa yang tidak punya akun Facebook ? Barangkali sebagian besar yang terpelajar, hidup di kota, dan mengikuti tren bisa kita asumsikan punya akun di media sosial ini. Maka untuk mengetahui seseorang, Facebook adalah tempat pertama yang boleh jadi terlintas dalam benak kita. Oke, memang ada kemungkinan masalah bila kita akan menemukan orang langsung melalui Facebook. Orang itu barangkali tidak menggunakan nama aslinya, ejaan namanya tidak seperti yang kita bayangkan, ada banyak orang dengan nama yang sama, atau yang paling sulit: akses tertutup bagi yang bukan teman. Di sini opsi pada Facebook tentang Pengaturan Privasi teramat penting. Saya kira semua pengguna Facebook harus peduli pada pengaturan privasi akunnya.

Pengaturan privasi pada Facebook berubah terus dari waktu ke waktu. Yang sekarang ini saya kira cukup sederhana dan mudah. Di sebelah kanan tanda gembok di pojok kanan atas itu kalau kita klik akan muncul Pengaturan Privasi. Di dalamnya bisa kita atur “Siapa yang dapat melihat apapun dari saya”, “Siapa yang dapat menghubungi saya”, dan “Siapa yang dapat mencari saya”. Kalau kita klik tanda gembok itu, kita pun dapat menemukan “Bagaimana cara membuat orang berhenti mengganggu saya”. Ini artinya, kalau kita atur sedemikian rupa pada pengaturan privasi, orang bisa sama sekali tidak bisa menemukan kita di Facebook. Tapi pengaturan itu lebih banyak berlaku secara inward di Facebook. Orang yang belum terhubung dengan akun Facebook seseorang barangkali bisa akan mati langkah, tapi sekali seseorang bisa mengusahakan dirinya jadi teman seseorang di Facebook, apapun bisa terjadi. Di sini poin pentingnya, selain kepedulian kita pada pengaturan privasi adalah soal konfirmasi permintaan pertemanan. Permintaan pertemanan dari orang yang sama sekali tidak punya teman bersama tentu lebih berrisiko, meski bukan berarti yang sebaliknya akan seratus persen pasti aman. Di sini menurut saya, seseorang dengan niat jahat yang imajinatif sebenarnya bodoh kalau dia melakukan gangguan langsung di Facebook (karena akan sangat mudah bagi pemilik akun untuk memblokirnya). Kalau saya katakan ini dari sisi kita sebagai pengguna Facebook, sebaiknya kita tidak menganggap bahkan orang-orang yang sudah terkonfirmasi pertemanannya sebagai orang-orang pasti bebas dari kemungkinan berbuat jahat. Sekali lagi, paranoid ? Hanya kehati-hatian saja sebagai prinsip. Selain keterhubungan sebagai teman, hal berikutnya yang harus mendapat perhatian kita adalah konten Facebook, yaitu status dan foto.

Siapa bilang apa yang kita tuliskan sebagai status Facebook itu bebas dari kemungkinan abuse oleh orang lain ? Bayangkan kemungkinan ini. Seseorang menampilkan statusnya dengan foto ketika dia sedang menggendong kucingnya. Katakanlah kucingnya bernama PusKitty dan statusnya berbunyi “Lagi gendong si PusKitty di rumah”. Sementara dia lupa bahwa pada fitur pengembalian password, pertanyaan untuk verifikasinya adalah “nama kucingku”. Tentu bisa runyam kalau ada orang menemukan itu. Risiko yang ada pada status bisa berkisar dari kecerobohan kita sendiri, hingga terlalu menampilkan gambaran jelas yang bisa memberikan clue bagi orang lain tentang kondisi faktual kita. Bayangkan, bagaimana kalau ada orang yang memang berniat menguntit, lalu dengan sabarnya dia membuat semacam inventory dari apa yang ditemukan pada status kita, melakukan cross-check, dan menyimpulkannya ? Ketika seorang pengguna Facebook diketahui tinggal sendirian dan suatu ketika menulis status akan pergi ke suatu tempat, bukankah itu sama dengan memberi informasi bahwa rumahnya sedang kosong ?

Khusus tentang foto, apa yang bersifat visual barangkali lebih banyak membuat kita tidak waspada daripada yang bersifat teks. Tidak jarang orang membuat foto dari smartphone lalu langsung mengunggahnya ke Facebook. Foto bisa saja memberi petunjuk tentang lokasi, di mana kita sering berada, atau bahkan rumah dan kantor kita. Dengan siapa dan pada acara apa kita berfoto barangkali akan menunjukkan status sosial kita (baik status sosial kita yang riil maupun yang diimpikan). Tapi bukankah itu juga akan memberitahu orang lain tentang lingkaran pertemanan kita ? Tagging foto yang menampilkan hubungan akrab juga akan memberi peluang pada pemirsa untuk mengetahui foto-foto kita yang lain dengan orang itu (dengan cara mengunjungi halaman foto orang lain itu). Tentu saja ini berlaku pula untuk tagging pada status yang berupa teks. Katakanlah kalau kita memproteksi timeline akun kita dan tidak memungkinkan orang lain untuk bisa melihat foto kita secara langsung, maka seseorang masih bisa mencari foto kita pada akun-akun orang lain yang sebelumnya ditemukan pada tagging orang di konteks yang lain.

Ada cukup banyak celah pada Facebook untuk seseorang yang berniat jahat. Tapi harus kita akui, kalau kita jadi terlalu banyak berpikir tentang keamanan, betapa semua unsur fun pada Facebook itu akan hilang! Bukankah begitu ? Tapi sebenarnya situasinya ada pada sebuah ambang, di mana di ujung yang satu kita sebaiknya tetap berdoa semoga tidak ada orang jahat, sementara di ujung satunya lagi, kita terlalu aware dengan keamanan. Di mana kita sebaiknya berada di antara dua titik itu adalah pilihan kita. Semua tentu, bila kita adalah pengguna Facebook yang aktif.

Twitter

Saya selalu berpikir Facebook lebih bersifat visual, sementara Twitter adalah tekstual. Entah kebetulan atau tidak, kalau kita posting status yang isinya campuran antara teks dan gambar, maka kalau ada orang me-like posting kita itu, pada notifikasi akan dikatakan bahwa seseorang menyukai (like) gambar foto yang kita kirimkan, bukan teksnya. Padahal mungkin sekali inti yang mau kita sampaikan ada pada status teks, bukan gambar. Karena lebih pada teks, maka Twitter lebih bisa menjadi petunjuk bagi pikiran (kognisi) seseorang, meskipun tentu secara potensial bisa lebih dari itu.

Tentu sama juga dengan Facebook, asumsinya adalah kalau kita memang pengguna Twitter yang aktif nge-twit. Apa yang kita tulis pada Twitter menunjukkan pilihan-pilihan, cara berpikir, atau orientasi yang kita miliki. Tapi tidak selalu orang nge-twit dengan serius. Barangkali hanya sindir-sindiran antarteman, bertukar lelucon, atau iseng belaka. Kalau begitu kasusnya, barangkali ‘kebocoran’ informasi yang terkait dengan upaya orang untuk mengetahui kita dengan cara membaca timeline barangkali tidak akan begitu efektif. Meskipun begitu, perlu diperhatikan tentang mention.

Saya berpikir mention pada Twitter bisa berpotensi menjadi letak bocornya informasi tentang kita di Twitter. Bayangkan, misalnya akun kita proteksi, yang tidak memungkinkan orang lain yang tidak kita izinkan mem-follow kita melihat isi timeline. Dengan search engine, orang bisa mencari akun yang dia akan amati. Hasil search yang jadi perhatian adalah akun orang lain yang mention akun yang sedang diamati itu. Kalau akun orang lain itu tidak diproteksi, maka seseorang bisa membaca isinya, termasuk tahu interaksi apa yang pernah terjadi, bagaimana hakikat hubungan dengan orang itu, dan tentu masih banyak lagi. Dengan kata lain, memproteksi akun twitter sebenarnya hanya menghindarkan seseorang tahu apa yang kita tweet, tapi barangkali tidak berarti menutup jalan untuk mengetahui apa yang dikatakan orang lain tentang si empunya akun itu. Dengan cara ini pula foto-foto kita pada Twitter dengan orang lain akhirnya bisa terungkap, karena sekali lagi, akun orang lain yang mention kita mungkin saja tidak diproteksi.

Adakah jalan untuk melindungi diri kita dari penggalian informasi dengan cara menelusuri mention seperti itu ? Saya tidak tahu pasti, tapi daripada menjawab pertanyaan itu, patut juga kita pertanyakan ke diri sendiri, apakah kita memiliki tujuan yang jelas atau spesifik tentang penggunaan Twitter ? Kalau iya, berarti tidak semua informasi kita kirimkan melalui media sosial ini. Kalau tidak itu, kalau anda tidak memiliki tujuan yang spesifik untuk menggunakan Twitter, bersediakah anda membiarkan informasi tentang diri anda terekspos di Internet dan potensial ditemukan orang lain ? Soalnya, lagi-lagi, itulah harga yang harus dibayar dari penggunaan Twitter. Sebagian besar orang barangkali tidak harus sampai pada pertimbangan ini. Tapi kalau anda merasa orang penting, hirau dengan bocornya informasi tentang diri anda, atau memang paranoid, ya mungkin lebih baik tidak menggunakan Twitter saja sekalian.

Foursquare

Pengguna Foursquare barangkali tidak sebanyak Facebook atau Twitter. Kalau saja ada orang yang memang berniat menguntit anda dan tahu bahwa anda pengguna Foursquare, maka besar sekali kemungkinan keberadaan anda akan lebih mudah ditelusuri. Bahkan ia bisa menemukan dengan tepat di mana rumah, kantor, atau tempat-tempat penting di mana anda sering singgah. Akan tetapi ya tentu saja, itu dengan syarat si penguntit sudah terhubungkan dengan anda. Tapi kalau belum terhubungkan sekali pun, orang bisa mendapatkan gambaran tentang pola mobilitas anda dengan lebih baik.

Sejenak barangkali memang agak unik media sosial yang satu ini. Kita justru diminta secara sukarela untuk memberitahu di mana kita sedang berada, apa yang kita pikirkan tentang tempat itu, foto tentang tempat itu, atau keterangan lainnya. Sebagai imbalannya, kita diiming-imingi untuk menjadi major dari suatu lokasi. Jadi, misalnya ada suatu tempat yang banyak dikunjungi orang dan pada saat yang sama juga banyak orang yang check-in di tempat itu, maka yang paling sering check-in di situ akan mendapat gelar sebagai major pada tempat itu. Gelar major itu bisa berpindah ke tangan orang lain kalau ada orang lain yang kemudian lebih sering check-in. Selain majorship, juga ada yang disebut badge. Foursquare “menaruh” semacam easter egg di lokasi-lokasi tertentu, yang kalau kita check-in di sana dengan pola tertentu maka kita akan dianugerahi badge. Semakin banyak badge yang dimiliki tentu saja akan semakin bergengsi, ya sekurangnya seperti yang dikonsepkan oleh para pendiri Foursquare.

Masih ada banyak yang bisa dikatakan tentang Foursquare, tapi mari kita bayangkan sebuah skenario seperti ini. Katakanlah seorang penguntit tahu bahwa anda menggunakan Foursquare dan Facebook. Di Facebook anda sudah menuliskan status bahwa anda menuju atau sedang berada di suatu tempat. Karena anda pengguna Foursquare, maka dapat diperkirakan anda akan check-in di tempat itu. Si penguntit bisa saja akan mendatangi tempat yang sama dan melakukan check-in juga. Berikutnya barangkali ia akan mencoba mengirim pesan pada anda, mungkin bertanya ini itu, mengesankan sesuatu yang normal atau akrab, dan ujung-ujungnya ia meminta terhubungkan dengan anda di Foursquare. Kalau sudah terhubungkan, maka tentu saja, bingo! Track record anda pernah ke mana saja akan bisa diketahui. Si penguntit akan bisa mendapatkan lebih banyak informasi tentang anda.

Oke barangkali skenario itu terlalu menjuruskan pada kemungkinan yang paling menguntungkan. Akan tetapi saya melihat Foursquare justru bisa digunakan untuk mengacaukan orang yang mungkin mencoba mencari tahu tentang kita. Konsekuensinya memang, kita akan menggunakannya tidak seperti yang diinginkan oleh para pendiri media sosial ini. Bagaimana kalau begini. Kita check-in pada suatu tempat, justru ketika kita akan meninggalkan tempat itu. Kita sama sekali tidak menyalahi prinsip penggunaan Foursquare yang benar, tapi dengan melakukannya seperti itu kita tentu akan terhindarkan dari kemungkinan terpergoki. Lalu bisa juga begini. Kita benar-benar datang ke suatu tempat, tapi kita check-in pada tempat yang berdekatan dengan tempat yang kita kunjungi. Kemungkinan lainnya tentu saja, kita bisa sama sekali tidak ke mana-mana, tapi kita check-in ke sebuah tempat, lalu mengesankan kita benar-benar ada di tempat itu dengan menuliskannya pada media sosial yang lain. Orang tentu bisa terkecoh.

Penutup

Sekarang ini banyak orang semakin terhubungkan melalui Internet. Tidak ada cara yang paling praktis untuk melakukan itu selain menggunakan perangkat yang portable, yaitu smartphone, meskipun kita mungkin masih menyelinginya juga dengan mengaksesnya melalui perangkat komputer atau tablet. Kita pun sekarang ini banyak melihat, tingkat kepemilikan smartphone semakin meningkat. Malah ada orang yang punya lebih dari satu.

Social Media Logotype BackgroundDengan berkembangnya media sosial, pemaknaan kita pada smartphone menjadi lebih dari sekedar alat untuk menelpon atau berkirim pesan. Pemaknaan itu berimbas pada adanya akumulasi self-disclosure (pengungkapan diri) di Internet. Pada kenyataannya orang tidak selalu memiliki kepedulian pada seberapa mungkin orang lain bisa mengakses self-disclosure itu dan kemungkinan konsekuensinya pada keamanan dirinya.

Tulisan singkat ini barangkali jadi seperti mengajari bagaimana untuk menjadi penguntit. Bukan itu maksud saya. Bukankah untuk menghindari penjahat kita juga harus berpikir seperti penjahat ? Bukankah pula sekali-kali menguntit bisa punya kegunaan yang positif, seperti misalnya orang tua yang ingin tahu ke mana saja anaknya ? Atau mungkin untuk membuktikan bahwa kecurigaan anda pada pasangan ada (atau tidak ada) buktinya ? Apa yang saya tulis barangkali hanya sebagian kecil dari kemungkinan kreatif lain untuk menggunakan media sosial untuk keperluan itu. Imajinasi perlu kita mainkan. Dari sisi yang lain, saya ingin agar kita sebagai pengguna media sosial yang aktif waspada pada cara-cara yang mungkin digunakan sebagai eksploitasi negatif orang yang tidak bertanggungjawab.

(Tulisan ini adalah pindahan dari tulisan saya di Tempo Interaktif pada 15 September 2013)