Dari wacana Post Colonialism (Pasca Kolonialisme) ada yang disebut dengan internalisasi penjajahan. Jadi, orang-orang yang berada dalam posisi terjajah sebenarnya ingin keluar atau bebas dari penjajahan yang melingkunginya, tapi ternyata yang dilakukannya justru malah mendukung pelanggengan penjajahan. Ini bisa mulai dari penggunaan bahasa penjajah, pengadopsian nilai-nilai penjajah, ekonomi yang tetap terikat pada penjajah atau mantan penjajah, pendidikan yang berpusat pada kebudayaan penjajah, sampai pada penggunaan simbol-simbol kekuasaan penjajah. Namun, itu semua tidak selalu begitu, Rudolf Mrazek (Enginners in Happy Land) justru mengisyaratkan bahwa pembangunan yang dilakukan oleh penjajah bisa membawa jalan bagi upaya untuk lepas dari penjajahan itu.
Apapun itu, yang saya tulis ini bukan tentang penjajahan, tapi tentang konflik interpersonal. Saya melihat, seperti ada analogi dari konteks penjajahan ke konteks interpersonal. Persisnya adalah ketika dua atau lebih pihak terlibat dalam konflik, barangkali masing-masing pihak ingin keluar atau menyelesaikan konflik itu, tapi yang dilakukannya justru malah melanggengkan konflik itu. Saya melihat orang-orang yang terlibat konflik bisa terjebak dalam siklus konflik yang sulit ditinggalkan. Mereka seperti berada di dalam sebuah kotak, dan tidak bisa berpikir di luar kotak itu. Interaksi antarpihak menjadi mirip sebuah permainan, dan masing-masing pihak cenderung untuk ikut bermain dalam permainan itu, bagaimanapun itu diungkapkan secara riil.
Menurut Saya, salah satu atau keduanya (kalau yang berkonflik adalah dua pihak) seharusnya keluar dari “kotak” itu dan tidak ikut bermain. Keluar dari kotak, artinya mulai melihat segala sesuatunya tidak dalam kaitannya dengan pihak lawan, melihat dunia dengan cara yang lain. Tidak ikut bermain, artinya tidak ikut menanggapi atau terlibat dalam plot apapun yang coba dikemukakan pihak lawan. Ya ini lebih mudah dikatakan daripada dilakukan. Selain masalah “otak” yang membawa pada kesadaran ini, juga ada masalah kepribadian. Kepribadian tertentu mungkin tidak bisa kolaboratif dengan cara berpikir ini.
Beberapa orang mungkin berpikir bahwa masalah atau konflik akan membaik tanpa perlu campur tangan langsung. Itu bisa saja terjadi, tapi tidak bisa selalu diandalkan. Orang juga tidak bisa selalu mengabaikan masa lalu, dalam arti konflik yang sudah berlangsung sejak lama tidak dianggap sudah selesai begitu saja. Artinya, konflik sebaiknya diselesaikan. Sepertinya, konflik akan lebih mudah selesai kalau ada fasilitator atau pihak ketiga yang membantu. Kalau itu tidak ada, sepertinya konflik akan dibiarkan ada dan terbawa waktu atau mengandalkan adanya individu dari salah satu pihak yang berani berkonfrontasi demi selesainya konflik itu.