Ketika kita berbicara mengenai diri kita sendiri dengan menggunakan kata sifat, atau ketika kita menjelaskan kepada orang lain bahwa kita itu adalah ini atau itu, begini atau begitu; apakah pada detik pertama ketika kita selesai mengatakan itu kita bisa menjamin bahwa diri kita adalah 100% seperti yang telah kita katakan? Saya kira terlalu banyak orang yang berilusi bahwa kita sebagai manusia bisa membuat diri kita seperti yang kita klaim merupakan diri kita. Pikiran seperti yang saya punya ini adalah sebuah kesadaran kritis, tapi ada manfaat praktis-psikologisnya, yaitu ketika seseorang mengusahakan dirinya seperti apa yang telah dikatakan pada orang banyak.
Ketika seorang lelaki mengatakan bahwa ia adalah ayah yang penuh kasih sayang, maka ia mengusahakan bukti untuk itu. Ketika seseorang menjelaskan bahwa ia adalah seorang demokrat, maka ia mungkin merasa harus untuk menunjukkan sifat seperti itu pada perilakunya. Ketika seorang kekasih menyatakan bahwa ia setia, maka bisa jadi ia merasa tertuntut oleh dirinya sendiri untuk tidak mulai tertarik pada orang lain. Apa jadinya ketika orang-orang seperti ini dalam hati kecilnya mengakui bahwa manusia itu sebenarnya tidak selalu bisa menjamin bahwa ia akan selalu 100% seperti yang dikatakannya?
Manfaat praktis-psikologis yang saya bilang tadi juga bisa dalam rangka identitas diri. Rasa bahwa diri kita adalah ‘seseorang tertentu’ (Are you somebody?) seperti dapat memberikan penegasan bahwa kita memiliki ‘harga’ tertentu yang keberadaannya harus dihormati atau diperhitungkan oleh orang lain.
Bila seseorang adalah dokter, maka ketika ia berbicara, bergaya, bersikap, dan berpakaian seperti layaknya seorang dokter ia mengkonfirmasikan dirinya sendiri kepada orang-orang lain bahwa ia adalah memang seorang dokter, dan tidak mungkin lain dari itu. Bila seseorang adalah seorang pelayan restoran, atas nama profesionalisme barangkali ia akan menunjukkan dirinya bahwa ia adalah 100% seorang pelayan restoran dan tidak bisa lain dari itu. Bila seorang perempuan adalah psikolog, ia akan mendapatkan penegasan dari lingkungan sosialnya bahwa ia memang adalah seorang psikolog, ketika ia dipercaya banyak orang untuk mendengarkan rahasia mereka. Sama dengan apa yang dikatakan seseorang tentang dirinya sendiri tadi, pertanyaan yang sama juga bisa kita ajukan dalam kaitannya dengan identitas / peran sasial kita, “Apakah kita bisa menjamin akan selalu 100% seperti predikat sosial yang dikenakan kepada kita?”.
Apapun yang kita katakan tentang diri kita sendiri atau predikat apapun yang kita sandang, itu adalah sebuah obyektifikasi. Obyektifikasi berarti adalah membuat sesuatu menjadi jelas dan pasti bagi semua orang. Tapi sayangnya, kita sebagai manusia ternyata belum pernah bisa jelas benar bagi siapapun. Manusia adalah sebuah kenyataan subyektif.
Ada satu kata untuk menggambarkan manusia, yang untuk memahaminya seperti yang dimaksud oleh Henry Bergson, Maurice-Merleau Ponty, dan Jean-Paul Sartre, saya perlu beberapa tahun secara on and off membayangkannya setelah lulus dari kuliah. Kata itu adalah Kontingensi. Manusia adalah sebuah kontingensi. (di awal saya membuat tutisan ini saya juga membayangkan kata ‘flux’; manusia adalah sebuah flux). Kontingensi, menurut pengertian saya, adalah medan kemungkinan, di mana ketika kita mencoba mengidentikkan sesuatu yang terjadi atau muncul darinya sebagai sebuah kepastian atau representasi yang obyektif, maka kita akan salah. Ini karena kontingensi memungkinkannya untuk bisa lain dari itu, bisa lebih dari itu, bisa anihilasi dari itu, bisa kontradiksi dari itu, bisa apapun dari itu. Kontingensi adalah sifat dari kesadaran, dan yang punya kesadaran adalah manusia. Manusia adalah kontingensi. Barangkali bahasa Indonesia kita akan membuat sulit untuk memahami ini dengan efektif. Apalagi kita cenderung berpikir yang membendakan. Tapi dalam bahasa Perancis, Sartre membuat distingsi untuk ĂȘtre en soi (being in itself – benda) dan ĂȘtre pour soi (being for itself – kesadaran).
Saya sebenarnya terinspirasi menuliskan ini ketika selama beberapa hari terakhir merenungi pengalaman diperlakukan tidak adil oleh seorang pimpinan di salah satu tempat aktifitas saya, yang kebetulan sehari-hari menampilkan citra sebagai orang yang saleh, orang yang religius. Terpikir oleh saya bahwa klaim tidak langsung yang ia buat secara verbal (ketika dalam berbagai kesempatan ia mengutip kata-kata nabi, mengucapkan idiom-idiom religius) atau non-verbal (seperti ke mana-mana memakai peci, menggunakan parfum aneh yang baunya seperti minyak angin dari botol kecil hijau itu, atau mungkin menenteng-nenteng kitab suci mini) adalah sesuatu yang secara efektif bisa terbukti ketika ia sadar ia berada di antara komunitas tempat ia mengaksentuasikan dirinya secara sosial. Sebenarnya, kita justru perlu untuk melihatnya ketika ia berada di luar itu.
Maksud saya, katakanlah kita adalah para penonton dari figur-figur semacam ini, nampaknya kita harus melihat koherensi sikap dan perilaku mereka tidak pada konteks ketika mereka dituntut untuk membuktikan diri mereka. Seorang lelaki yang bilang bahwa ia adalah ayah penuh kasih sayang pada anak-anaknya, kita harus melihatnya, justru ketika ia tidak sedang berada di rumah. Lalu, jangan melihat seorang caleg (yang mengklaim dirinya seorang demokratis) ketika ia sedang berada di markas partainya, tapi mungkin lebih baik melihatnya ketika ia memperlakukan istrinya yang ia larang bekerja. Untuk seorang lelaki yang menyatakan setia, kita perlu untuk metihatnya ketika ia sedang berada di dekat seorang perempuan yang seksi, luar biasa cantik, seorang diri, bingung, tidak ada orang lain lagi, dan memerlukan pertolongan.
Sama halnya dengan yang menjadi identitas seseorang. Saya punya kenalan suami istri dokter, tapi yang anak-anak perempuannya sering terlihat busik dan mereka pilek terus-menerus. Saya pernah memergoki seorang pelayan di sebuah toilet pada sebuah restoran high class dengan nama asing, dengan satu kaki terangkat ke kursi, merokok, dan mengumpat dengan bahasa Sunda kasar. Saya juga punya seorang teman psikolog yang sering memberi konsultasi tentang masalah relationship pada orang lain, tapi akhirnya ternyata ia sendiri cerai dari suaminya.
Mudah sebenarnya membuktikan bahwa kita itu adalah kontingensi; bahwa kita itu adalah sebuah kemungkinan; bisa begini bisa begitu; bisa ya bisa juga tidak.
Seseorang mungkin sedang memainkan trik persuasi tertentu atau sekedar alpa secara naif ketika ia menyatakan dirinya kepada orang lain dengan sebuah kata sifat Seseorang mungkin juga sekedar ingin mendapatkan peneguhan sosial atau rasa diri yang nyaman ketika ia secara total mencitrakan dirinya seperti figur tipikal suatu profesi tertentu. Seseorang yang religius mungkin tetap saja punya sekoleksi DVD filem porno di kamarnya, diam-diam punya kenalan dekat perempuan kaya yang prospektif jadi simpanan atau istri kedua, atau melakukan mark-up pada ajuan dana yang ia buat di kantornya.
Hanya berhubung inspirasi tulisan saya ini berasal dari disonansi pada sebuah citra religiositas, saya ingin menarik konsekuensi dari kontingensinya manusia pada sebuah kemungkinan yang ekstrem. Pertanyaannya begini. Kalau kita mengaku religius berarti kita beragama. Kalau kita beragama berarti kita mengakui keberadaan Tuhan. Apakah kita bisa mengatakan bahwa pengakuan kita pada Tuhan itu sebuah kontingensi? Apakah iman itu sebuah kontingensi?
Buat saya, jawabannya adalah: Ya! Apakah kita akan menjamin bahwa dari detik ke detik kehidupan kita segala ucapan, perilaku, dan sikap kita akan terus-menerus koheren dengan
konsekuensi bahwa kita ini adalah makhluk-Nya, ciptaan-Nya? Kalau si X memahami kebertuhanan adalah sebuah sikap dan perilaku dalam koridor agama, apakah sepanjang ia bernapas ia akan konstan menunjukkan citra yang religius? Karena saya menjawab Ya, saya berpikir kenapa kita tidak sekalian mengakui bahwa sebenarnya ada momen-momen dalam hidup kita di mana kita adalah seorang atheis (atau sekurangnya agnostik), seorang yang non-religius? Apakah kita mau mengatakan bahwa kesadaran kebertuhanan dan keberagamaan kita itu sama sekali tidak pernah mengalami fluktuasi barang sedetik atau semenit saja?
Kalau gitu, apakah sebenarnya ada baiknya kita lebih mengaku sebagai pendosa daripada orang yang saleh? Tapi Tuan X jelas-jelas tidak mau dikatakan sebagai pendosa karena ia rajin shalat lima waktu dan bertasbih pula. Apalagi kalau ia dikatakan sebagai atheis. Meskipun begitu, baginya mengurangi hajat hidup orang lain adalah ok terutama kalau orang itu ternyata berpotensi membahayakan posisinya.
Atheisme adalah sebuah hantu yang kita hindari karena merupakan oposisi dari salah satu idiom kesadaran kolektif manusia…. dan dalam situasi seperti itu selamanya akan cukup sulit untuk mengakui bahwa menjadi seorang atheis adalah potensi yang built-in dalam eksistensi kita, meskipun kita adalah orang yang beragama.
(Tulisan ini saya pindahkan dari tomita.web.id. Ini ditulis pada 10 Februari 2009)