Saya selalu bilang bahwa kalau ada masalah yang menimpa dua orang, maka sebenarnya akan sulit untuk mengatakan dengan jelas bahwa penyebabnya adalah salah satu dari kedua orang itu. Ini karena satu pihak pasti telah memberikan kondisi bagi pihak satu lagi untuk menciptakan masalah itu. Artinya, saya mau mengatakan bahwa dalam relasi dyadik sebenarnya dua orang itu selalu saling memberikan kontribusi bagi kebersamaannya.
interpersonal Tapi akhirnya saya melihat sebuah situasi di mana pemahaman saya mengenai hal itu harus saya kunyah ulang. Ternyata tidak terlalu mudah untuk tetap berpikir dalam alur logika itu manakala kita sendiri yang mengalaminya. Yang mau saya katakan adalah saya hampir merevisi ulang pengetahuan yang hampir jadi keyakinan itu, menomorduakannya setelah saya membuat sebuah formulasi baru yang jadi peringkat pertama, atau membuat rasionalisasi baru untuk melihatnya dengan cara pandang yang lain. Pada kenyataannya, terasakan betul oleh saya bahwa perlakuan satu pihak bisa menjadikan pihak lain menjadi seperti seorang martir yang terpaksa.
Meskipun begitu, apapun yang saya katakan, tetap saja logika itu membayangi. Bukankah kebebasan itu pada saatnya yang kritis telah memberikan pilihan untuk menerima atau menolak pengkondisian? Kedengarannya sangat masuk akal, tapi kita semua tahu bahwa pikiran dan perilaku kita tidak hanya digerakkan oleh sebuah notion yang rasional. Kita bisa bergerak memilih ini atau itu, cenderung melakukan ini atau itu, meskipun semuanya sama sekali irasional. Karena manusia adalah hasil adonan yang rumit dari rasionalitas dan irasionalitas. Lalu karena ini, apakah pemahaman saya tentang logika subjek – objek tadi itu jadi harus berubah?
Satu hal kecil saja: ketika kita menerapkan logika ini pada hubungan antarmanusia, kita sendiri sebenarnya sudah terlibat pada upaya mengobyekkan apa yang seharusnya tidak boleh jadi objek. Seharusnya kita mencanangkan bahwa keduanya itu kita pikirkan dalam relasi subjek – subjek. Sejak kapan harus kita melihat manusia sebagai objek? Tapi ini tidak bisa begitu saja. Hidup lebih rumit dari apapun yang bisa dikatakan tentangnya. Apa yang harus dikatakan tentang kebersamaan yang dipersatukan dengan dua kebebasan?
Saya tidak mencoba untuk mendiktekan segala yang rasional pada hidup ini atau untuk sesuatu yang urgen harus membuat konsep dulu baru bertindak. Tapi pergaulan saya dengan fenomena dan fenomena dengan saya sering sampai pada suatu titik, di mana bagaimana saya memberikan respon bergantung pada apa yang saya yakini dan putuskan dalam hati. Dan pada titik itu, aroma pahit kebenaran lama-lama bisa menjadi manis juga, meski jalan yang ditempuh selalu saja benar-benar makan hati.
(tulisan ini pindahan dari tempat lain – Saya tulis pada 11 Januari 2016)