Konformitas di Grup WA

Apa yang ditulis orang di manapun itu memang belum tentu menunjukkan siapa orang itu sebenarnya. Kalau dikatakan sekurangnya ikut memberikan petunjuk orangnya itu bagaimana, tentu masih bisa diterima. Ya seperti bagaimana mungkin Anda bisa punya gambaran tentang saya itu gimana orangnya melalui tulisan-tulisan Saya di sini. Salah satu yang ingin saya soroti terkait ini adalah apa yang Saya sebut konformitas di grup WA.

Konformitas itu maksudnya ya orang menunjukkan jadi sama kecenderungannya terhadap suatu isu, mulai dari karena malas mengikuti secara detil sampai karena yang bersangkutan acuh tak acuh. Saya kira itu terjadi karena akhirnya ungkapan-ungkapan yang muncul di grup WA akhirnya bisa menjadi semacam tekanan sosial bagi seseorang. Karena sebagian besar pendapatnya adalah X misalnya, maka orang lain gak enak untuk berbeda pendapatnya. Istilah teknis psikologis di sini adalah disonansi kognitif. Jadi, manakala mayoritas berpikir atau berpendapat dengan cara tertentu, maka orang lain yang belum menuliskan ungkapannya menjadi tertekan untuk berpikir, berpendapat, atau bahkan berperilaku yang sama.

Untuk satu hal itu mungkin bisa dipahami. Contoh mudahnya, kalau ada yang ulang tahun di grup WA, maka sepertinya semua orang harus mengucapkan selamat. Orang yang tidak mengucapkan selamat barangkali punya pembenaran seperti tidak baca, pesannya terlewat karena sibuk atau lainnya. Namun, tidak kurang itu bisa menimbulkan rasa tidak enak juga. Kenapa si Z tidak mengucapkan selamat ulang tahun pada saya, kata si yang ultah. Untuk hal lainnya masalahnya kadang jadi tidak rasional. Misalnya ada orang yang meninggal, tapi orang itu tidak menjadi anggota grup WA. Maka semua mengucapakan bela sungkawa. Saya bilang ini tidak rasional kenapa ? Ya bukankah sebaiknya ungkapan duka itu ditujukan ke orang yang langsung terkait dengan yang meninggal ? ke anggota keluarganya, misalnya. Tapi tak urung, ini juga jadi semacam tekanan tertentu. Orang lalu ikut-ikutan nulis Inna Lillahi, dsb, dsb. Sekali lagi, padahal orang yang meninggal tidak ada di grup WA itu.

Ya memang soal sepele kalau hanya soal mengungkapkan belasungkawa, tapi ini bisa jadi petunjuk bahwa grup WA adalah sebuah ajang di mana orang bisa potensial mendapat tekanan untuk sepakat. Saya tidak suka, karena ketika itu terjadi rasionalitas bisa jadi tidak terpakai. Ya lagi-lagi orang akan bilang memang dalam segala hal kita harus rasional ? Masalahnya adalah kadang kita tidak kritis tentang kapan kita harus rasional dan kapan kita ok untuk tidak rasional. Lagian, perlu ada etos yang bener tentang bagaimana kita harus bersikap dan berperilaku di aplikasi messaging.

Kita kembalikan saja lagi. Yang sosial yang bener adalah ketika kita bertatap muka secara langsung di darat. Ketika yang sosial itu bermedia, maka kesosialan yang sejati pasti akan ada kurangnya. Kurangnya itu sering-sering berhubungan dengan apakah bikin kita jadi rasional atau tidak.