Menjaga Kewarasan

Saya lupa siapa yang mengatakan ini dan kapan. Katanya, kalau ada yang bertanya “sekarang sedang sibuk apa ?” dan kita bingung menjawabnya, maka jawaban yang hampir pasti selalu berlaku dan benar adalah “sibuk menjaga kewarasan”. Ya kewarasan kita memang tidak bisa dibiarkan begitu saja. Selalu ada ancaman yang membuat kita goyah, terpicu, bahkan mungkin jadi tidak waras beneran. Ancaman itu barangkali ada yang disengaja oleh orang lain, tapi ada juga karena proses-proses interaksi sosial, kita bisa terkena imbas tertentu yang ujung-ujungnya menjadi ancaman kewarasan buat kita. Ini artinya, di sini saya bilang bisa tidak waras itu karena orang lain.

Orang pada umumnya berpegang pada common sense bahwa kita harus berperilaku baik pada orang lain, saling menolong kalau ada kesusahan, saling membantu kalau ada orang lain yang sedang ditimpa masalah, dan sebagainya. Tapi, bisa ada konteks tertentu yang membuat orang itu akhirnya kelihatan sifat aslinya, dan itu belum tentu sejalan dengan common sense tadi. Ketika ada situasi mengancam, orang lebih suka menyelamatkan diri. Diri sendiri diutamakan, bisa jadi orang lain dikorbankan untuk keselamatannya. Ada musibah menimpa sejumlah orang bersama-sama, ternyata ada saja yang mungkin lebih menyelamatkan orang yang satu agama dengan dia saja. Orang sama-sama rajin beribadah dalam agamanya, tapi ketika sudah menyangkut uang, maka agama tidak berlaku lagi. Mungkin akan ada banyak situasi lain, yang meskipun tentatif tapi kita bisa membayangkan kewarasan sosial akhirnya dihadapkan pada situasi yang mungkin dilematis. Bagaimana orang mengambil keputusan pada situasi itulah yang mendefinisikan dirinya.

Jadi, kewarasan bisa terancam karena keberadaan orang lain atau karena konformitas pada nilai-nilai semu yang menjadi selubung eksistensi yang sebenarnya. (Di sini tiba-tiba saya teringat “Neraka adalah orang lain”). Tapi kewarasan juga bisa terancam tidak dari mana-mana, alias bisa dari diri sendiri. Menurut seorang teman Saya yang berprofesi psikolog, sebenarnya ada sangat banyak masalah psikologis di banyak orang, tapi semuanya tidak atau sulit terungkap. Ya orang bisa lahir dengan struktur syaraf yang berbeda, yang membuat dia jadi rentan terganggu. Orang juga bisa dibesarkan dalam lingkungan dengan tingkat pendidikan yang sangat positivistik (hanya menghargai hal-hal fisik / lahir), sehingga apa yang subyektif kurang bisa dibicarakan. Lalu ada banyak orang yang seumur hidupnya terus saja naif dengan dirinya sendiri dan menganggap selalu baik-baik saja.

Saya mau bilang, tidak mungkin semua orang di dunia ini selalu baik-baik saja. Kita terdiri dari yang fisik (badan, kulit, tulang, daging, dsb), dan yang psikis (perasaan, pengalaman subyektif, pikiran, dsb). Kenapa kita mudah mengakui fisik kita terganggu, yaitu sakit (lalu pergi ke dokter), tapi berbeda halnya dengan yang psikis ? Ya jelas psikis kita bisa sakit juga, tapi tiap kalau ada orang pergi ke psikolog label sosialnya adalah dia kena “gangguan jiwa” atau “tidak normal”, atau apa lagi yang lain yang tidak mengenakkan. Mungkin harus dimaklumi karena Indonesia memang masih jauh dari kesadaran tentang kesehatan jiwa.

Daya tahan terhadap ancaman kewarasan adalah soal lain lagi. Ya analoginya, tubuh bisa berotot dan kuat melakukan berbagai aktifitas fisik, tapi bisa saja orang yang kekar sekalipun di dalamnya belum tentu sekekar otot-ototnya. Tidak mungkin mengatakan kalau fisiknya bagus maka psikisnya juga kuat. Omongan lama itu mungkin sebenarnya adalah doa: Mensana in corpore sano. Katanya di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat. Ya semoga saja bener jiwanya kuat. Masalahnya, bisa saja orang sehat tubuhnya tapi jiwanya, … ambyar! Saya bukan psikolog, maka saya gak tahu apa yang bisa meningkatkan daya tahan terhadap ancaman kewarasan. Kalau saya, ya semakin mengenali sifat-sifat diri sendiri dalam berbagai keadaan, belajar tidak peduli, dan termasuk menyadari bahwa beberapa state-of-mind tertentu itu adalah karena defisiensi mineral. Ya seperti yang sudah saya tulis tentang magnesium pada posting lain. Sebenarnya bahkan ada mineral lain yang penting juga.

Maka ketika suatu saat saya sulit tidur dan merasa diri saya menjadi super sensitif dan gampang kesal, saya memaklumi kondisi itu. Saya bilang ke sebuah grup WA bahwa saya sedang kena gangguan tidur serius. Pada saat yang bersamaan ada orang lain yang izin tidak masuk kantor karena sakit. Ternyata orang yang bilang semoga segera lekas sembuh kepada yang tidak masuk kantor itu lebih banyak daripada yang bilang itu kepada Saya. I was driven crazy. Mendadak pikiran-pikiran negatif segera menyeruak di kepala Saya. Tapi saya segera ingat bahwa saya sedang super sensitif. Maka saya memaklumi diri sendiri. Meskipun sebenarnya tetap menyisakan pikiran: jangan-jangan a, jangan-jangan b … dsb, dsb … 🙂

Asli, kewarasan memang harus dijaga bener!