Bahagia Tanpa Tawa

Kedangkalan bisa muncul dalam berbagai bentuk. Kalau itu sudah menyangkut yang disebut bahagia, kedangkalan orang pada umumnya adalah bahwa itu asosiatif dengan tertawa atau sekurangnya wajah yang mengisyaratkan tertawa. Ketika sebuah state of mind didefinisikan secara obyektif dari luar, maka itulah awal mula dari petaka antarpribadi. Intinya, seseorang merasa tahu tentang seseorang lain, padahal sebenarnya tidak.
Orang yang mengindikasikan bahwa bahagia adalah dengan tertawa atau menunjukkan wajah senang itu tadi juga bisa berarti dia miskin pengalaman psikis. Dia hanya tahu bahagia itu yang seperti itu. Dia tidak punya referensi lain, seperti menikmati secangkir teh hangat di pagi hari yang masih dingin sambil menatap matahari terbit, mendengarkan lagu kesukaan sambil berjalan-jalan di lingkungan yang berudara segar, sensasi ketika berhasil menyelesaikan sebuah puisi, atau bahkan ketika sendirian total tapi dengan kedamaian dalam pikiran.
Itulah yang saya alami dengan seorang perempuan yang kata-katanya seolah masih berdengung di kepala ini. Dia bilang “Tapi happy kan ?”. Saya tidak akan menceritakan semua konteksnya dengan persis. Tapi dia bilang begitu ketika dia mendapati saya cenderung serius. Ya saya tidak akan merendahkan dia seperti ketika Saya merasa sudah diperlakukan begitu dengan menganggap saya tidak punya kemampuan untuk bahagia.
Kenaifan bisa saja tidak akan pernah segawat seperti itu akan membuat orang jadi sial atau terbunuh, misalnya. Oh tidak. Itu bisa saja malah membuat orang jadi kaya raya dan berkuasa. Kenapa tidak ? Tapi bukankah yang ada dalam hati dan benak setiap orang itu adalah rahasia ? Siapa yang tahu ketika seseorang tertawa-tawa padahal ia sebenarnya melarikan diri dari kenyataan, misalnya ?
Saya bisa bahagia dengan cara saya sendiri, dan itu mungkin tidak selalu dengan tertawa atau menunjukkan wajah senang.